Diskusi Terbatas Universitas Paramadina: Perjumpaan Sains dan Agama

IMG_1444

Jakarta 05/03/2014. Dosen tamu STFI Sadra Ayatullah Muhammad Abdul Khudoi berkesempatatan memberikan materi dalam seminar internasional yang bertajuk “Perjumpaan Sains dan Agama” yang diselenggarkan oleh Fakuiltas Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Selasa 5 Maret  2014. Hadir dalam seminar ini para akademis dan juga ratusan Mahasiswa. Tema seminar ini di angkat untuk memahami interaksi yang seharusnya terjadi antara doktrin-doktrin agama dengan fakta-fakta saintifik.

Dalam materi yang di sampaikanya, Prof. Dr. Moh. Abd Khodai menegaskan bahwa pengetahuan manusia tidaklah hanya bergantung pada penalaran yang bersifat rasional aristotelian karena dengan hanya mengandalkan metode ini maka manusia akan tergelincir dengan penafian terhadap realitas yang berada disekelilingnya. Begitu juga jika kita hanya menyandarkan sumber pengetahuan akan realitas melalui telaah empirisme saja  maka hal ini akan berakibat pada penafian peran akal dalam menarik kesimpulan-kesimpulan universal. Francois Bacon begitu terburu-buru ketika menyimpulkan bahwa ilmu pengetahuan hanya bergantung kepada aspek-aspek paling empiris dalam kehidupan dan inilah pangkal ketidaksempurnaan disiplin-disiplin ilmu eksakta. Padahal kedua-duanya mutlak diperlukan dalam proses membentuk pengetahuan atau mencapai realitas yang hakiki. Allah dalam surat al nahl ayat 78 menegaskan bahwa potensi-potensi manusia seperti Sama’ (Mendengar) danBashar (melihat) sama sekali tidak dapat dinafikan, namun lagi-lagi Allah pun mengaskan bahwa potensi lain yang sangat orisinil dalam diri manusia yakni Af’idah (Rasio) memiliki posisi yang sama untuk tidak dinafikan dalam proses pencapaian kepada realitas. Artinya dengan menempatkan masing-masing fakultas dari diri manusia yakni kapasitas indrawi dan rasio, maka manusia akan mencapai taraf pengetahuan yang menyentuh alam spiritual, inilah jalan utama yang menghubungkan antara Sains dan agama.

Dalam pembicaraan lainnya, Profr. Dr. Moh. Abd. Khodai menegaskan bahwa misi “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” adalah upaya mewacanakan asumsi-asumsi yang tidak memiliki manfaat apapun baik terhadap Sains maupun Agama itu sendiri karena karena sifat agama yang spiritual hanya dapat diturunkan pada nilai-nilai dan tidak mungkin masuk mengintervensi bagian-bagian yang paling partikular dalam ilmu pengetahuan. Masuknya agama kepada hal-hal yang partikular yakni sains, malah akan membuat posisi agama sejajar dengan teorema-teorema Sains yang sangat mungkin temporar dan dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti perubahan asumsi analitik dan temuan-temuan baru dari ranah sains. Agama hadir sebagai penjaga nilai-nilai kebenaran dan memberikan nilai pada tindakan-tindakan manusia termasuk dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan. Disinilah pengorbanan Sains yang paling besar dalam sejarah kehidupan manusia, yakni Sains haruslah di tundukan dengan kapasitas rasional manusia yang berujung pada keutamaan moral, bukan malah menghancurkan kehidupan manusia.

Prof. Dr. Abd. Khodai secara gamblang mengapresiasi alegori yang diketengahkan oleh Francois Bacon dalam memahami tabiat kehidupan. menurut Sir Francis Bacon, manusia  bisa bersikap seperti semut, laba-laba, atau lebah. Maksudnya, semut itu terus bergerak, bekerja keras setiap hari mengambil apa saja yang ada. Hidup itu mengalir seperti sungai. Menghadapi dunia secara aktif tapi apa adanya. laba-laba terbalik. Dia banyak diam, berpikir. Dia membangun dunia dari dalam dirinya.  Rumahnya, penghidupannya, semua dari dalam dirinya. Ia mengeluarkan sarang laba-laba dari kelenjar dalam tubuhnya. Sarangnya rumit dan detail. Serumit jalan pikirannya. Kemudian ia pasif, diam, menunggu. Sekali-kali ada makhluk lain yang tersesat, masuk ke dalam jaringannya. Baru perlahan-lahan ia mendekati makhluk malang itu, kemudian menyantapnya. Ia memprosesnya, mencernanya. Untuk kemudian dijadikan, antara lain, kelenjar membangun sarangnya. Kemudian diam lagi, merenung, menunggu. Kalau tidak ada yang nyasar ke dalam kehidupannya, maka matilah laba-laba dengan merana. Nothing happens in its life, unless there is an accident.Yang mengambil jalan tengah adalah lebah. Ia aktif seperti semut. Ke sana ke mari. Tapi ia selektif. Ia mencari bunga yang indah. Kembang yang cantik. Madu yang harum. Kalau ketemu, ia mengitarinya dengan senang, dan mengambil tetesan madu. Lebah itu mencari kembang cantik dalam kehidupan, dan mendapatkan tetesan madu sebagai oleh-olehnya. Tidak lupa sebelum pulang ke sarang, lebah membantu sang bunga untuk mendapatkan kekasih hati mereka, jodoh mereka, melalui penyerbukan. Kemudian lebah membawa tetesan madu itu ke sarangnya. Memprosesnya. Baik untuk keperluanya maupun untuk keperluan komunitas lebah. Bahkan kita pun bisa menikmati berlimpah madu yang nikmat. Kalau mau mencari sarangnya itu. Lebah itu mengambil apa yang diberikan kehidupan, memprosesnya, kemudian mengembalikannya sebagai persembahan bagi kehidupan orang lain, makhluk lain. Sudah seharusnya manusia bersikap seperti lebah dalam proses mencapai pengetahuan akan realitas hakiki, dengan tidak menafikan realitas di luar dan juga tidak menolak hakikat realitas yang berada didalam diri manusia itu sendiri. Maka manusia akan menyingkap alam pengetahuan yang luar biasa dahsyat. (SADRA)

Leave a comment